Minggu, 04 Maret 2012

Sekilas Perjalanan NU


Berdiri di Surabaya atas nama perkumpulan para ulama. Pada masa ini perjuangan dititik-beratkan pada penguatan pahan Ahlusunnah Waljamaah terhadap serangan penganut ajaran Wahabi. Diantara program kerjanya adalah menyeleksi kitab-kitab yang sesuai atau tidak sesuai dengan Ahlusunnah Waljamaah.
Pada tahun 1937, empat orang tokoh pergerakan Islam berkumpul di Surabaya untuk mendirikan federasi organisasi Islam. Mereka adalah K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan K.H. Dahlan Ahyad (keduanya dari NU), K.H. Mas Mansur (Muhammadiyan) dan Wondoamiseno (Syariat Islam). Pertemuan menyepakati berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia, disingkat MIAI.
Selain K.H. A. Wahab Hasbullah dah K.H. Dahlan Ahyad yang tercatat sebagai salah seorang pendiri MIAI, dalam perjalanan selanjutnya K.H. A. Wahid Hasyim terpilih sebagai Ketua Dewan MIAI-jabatan tertinggi yang ada dalam organisasi itu. Selai mereka, terdapat juga nama K.H. Zainul Arifin yang menjabat sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Penghinaan Islam dan K.H. Machfudz Siddiq dalam Komisi Luar Negri MIAI. Namun ketika Jepang datang (Maret 1942), semua organisasi dibekukan. Termasuk NU dan MIAI.
Ketika ormas-ormas dibekukan oleh Dai Nippon, perjuangan para Kiai NU difokuskan melalu jalur diplomasi. Tahun 1942, K.H. A. Wahid Hasyim dan beberapa Kiai lain masuk sebagai anggota Chuo Sangi-In (parlemen buatan Jepang). Lewat parlemen itu pula K.H.A Wahid Hasyim meminta agar pemerintahan balatentara Jepang mengijinkan NU dan Muhammadiyah bisa beraktivitas kembali seperti di masa penjajahan Belanda.
Perjuangan diplomasi terus ditingkatkan. Pada akhir Oktober 1943 atas prakarsa NU dan Muhammadiyah pula, didirikan wadah perjuanagan baru bagi umat Islma Indonesia bernama Majelis Syuro Indonesia, disingkat Masyumu, dengan K.H. M. Hasyim Asy’ari sebagai pemimpin tertinggi, dan K.H. A. Wahid Hasyim sebagai wakilnya. Masyumi adalah kelanjutan dari MIAI.


0 komentar:

Posting Komentar